OPTIMALISASI TERAPI HEPATITIS B KRONIS YANG TERINTEGRASI

Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut menyerang hati hingga menimbulkan penyakit akut dan kronis. Jenis hepatitis adalah hepatitis A,B,C,D dan E. Virus hepatitis B dan C yang mempunyai potensi menyebabkan hepatitis akut dan kronis. Hepatitis B dikenal dengan istilah “silent killer” yang merupakan penyakit yang timbul hampir tanpa adanya gejala awal tetapi dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebanyak 7,1 persen penduduk Indonesia diduga mengidap penyakit hepatitis B. Angka penderita penyakit hepatitis B di Indonesia masih terbilang tinggi. Satu dari 10 orang penderita hepatitis adalah hepatitis B kronik dan  9 dari 10 orang penderita hepatitis tanpa diketahui oleh penderita apa yang menjadi penyebabnya.Terdapat 1 dari 4 pengidap hepatitis kronik meninggal karena kanker atau gagal hati.

Salah satu langkah pengobatan untuk penderita hepatitis B kronis adalah dengan mengonsumsi obat antivirus. Pemberian obat antivirus bertujuan untuk mencegah perkembangan virus, bukan untuk menghilangkan virus dari tubuh penderitanya secara tuntas. Terapi obat untuk penderita hepatitis B sirosis adalah seumur hidup, oleh karena itu membutuhkan kepatuhan penderitanya untuk kontrol secara berkala ke dokter untuk melihat perkembangan penyakit dan mengevaluasi pengobatan, dan patuh dalam mengikuti rejimen terapi. Ilmu pengetahuan di bidang hepatitis B juga semakin berkembang dan obat-obat serta modalitas baru tatalaksana hepatitis B terus bermunculan. Target pengobatan pada hepatitis B eradikasi infeksi virushepatitis B melalui vaksinasi, terapi, dan pencegahan transmisi.

Terdapat 2 jenis terapi obat hepatitis B , yaitu Nucleos(t)ida Analog berupa sediaan oral, dan injeksi Interferon. Obat oral terapi hepatitis B yang digunakan di Indonesia: lamivudin,  adefovir, telbivudin, tenofofir dan  entecavir.

Prinsip terapi hepatitis B:

  1. Indikasi harus tepat
  2. Pemantuan ketat
  3. Target terapi ditentukan sejak awal
  4. Penghentian obat berdasarkan capaian target

Dasar Terapi hepatitis B adalah berdasarkan Keputusan Menkes HK.01.07/MENKES/322/2019 tentang  Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana hepatitis B yang berisi tentang tujuan dan target terapi, evaluasi awal, Indikasi mulai terapi,pemantauan, kriteria penghentian terapi.

Beberapa rekomendasi hepatitis B antara  lain:

  1. Evaluasi dan konseling pra-terapi dengan terapi berdasarkan evaluasi dan hasil diagnostik , pengecekan dilakukan berdasarkan hasil HBsAg,HBeAg dan HBV DNA.
  2. Rekomendasi terapi , mencegah progresi, mencegah agar tidak menular dan pasien tidak meninggal

Target utama terapi hepatitis B adalah HBsAg hilang, jika sulit diterapi untuk HBeAg terakhir menurun, jika kesulitan juga target dilakukan untuk penurunan HBV DNA  dengan dilihat hasil pengukuran   SGPT/ALT. Terapi hepatitis B berdasarkan kenaikan SGPT dan DNA, jika terdapat kenaikan nilai SGPT maka harus dilakukan terapi. Jika pasien SGPT normal tetapi kondisi hati mengalami kerusakan tetap harus dilakukan terapi.

Terapi nukleos(t)ida analog yang efektif adalah:

  1. Lini pertama
    • Tenofovir 300mg per hari
    • Entecavir 0,5 mg per hari
  2. Lini kedua
    • Lamivudin 100mg per hari
    • Adefovir 10mg per hari
    • Telbivudin yaitu pemakaian  600mg per hari

Pemilihan terapi berdasarkan obat yang mempunyai potensi bagus dengan resistensi yang rendah, berdasarkan lini pertama. Pemakaian lamivudin dalam 5 tahun pertama resistensi obat yang terjadi sebesar 80% sehingga masuk dalam terapi lini kedua. Pemantauan pemakaian obat dilakukan berdasarkan efek samping obat yang terjadi dengan SGPT yang dipantau setiap 3 bulan, memantau efek  samping obat yang terjadi terutama terhadap pemberian obat Tenofovir yang berisiko nefrotoksik,

Peran Apoteker:

  1. Memberikan konseling optimal terutama efek samping obat yang akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
  2. Melakukan terapi optimal (mematuhi terapi yang diberikan oleh dokter) karena pasien meminum obat dalam jangka panjang dan bahkan seumur hidup
  3. Menjamin ketersediaan obat nukleosida analog
  4. Membantu memantau terapi hepatitis B yang terstandarisasi berdasarkan terapi  lini pertama dan kedua dan memilih terapi yang sesuai kondisi pasien apakah komorbid atau resisiten
  5. Memperhatikan tingkat keamanan obat hepatitis obat, dengan adjustmen dosis NA bila Ccl<50ml/menit
  6. Monitoring efek samping nukleosida analog

Penulis : Rini Handayani
Editor : Yulia Trisna

4 comments

  1. Rolly Pasrida

    Hepatitis B yg paling banyak diderita

  2. Nurana

    Bagaimana caranya mendapatkan sertifikat webinar ttg hepatitis b kemarin karena sy sdh dpt email tapi didalamya tdk terdapat sertifikat?

  3. Makbul, S.Farm., Apt

    Hepatitis B yang paling banyak di alami masyarakat…

Leave a Reply