Perkembangan Terkini Terapi Obat untuk COVID 19

Pengurus Pusat Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia  (PP HISFARSI) bekerjasama dengan PT. Ferron Par Pharmaceuticals Divisi Onkologi menyelenggarakan webinar mengenai perkembangan terkini terapi obat untuk Covid-19 dengan para pembicara: Raymond R Tjandrawinata PhD (molecular pharmacologist Dexa Group) dan Dr. Widyati, MClin Pharm, Apt (Farmasis Klinik ICU RSAL dr Ramelan). Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu 9 Mei 2020. Webinar ini membahas mengenai berbagai obat yang saat ini digunakan untuk penanganan Covid-19. Beberapa obat yang awalnya diindikasikan untuk penyakit lain, kemudian diuji cobakan untuk terapi Covid-19. Sampai saat ini berbagai penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui obat- obat yang efektif untuk pengobatan Covid-19.

Berdasarkan publikasi ilmiah yang ada diketahui bahwa oseltamivir atau tamiflu ternyata tidak efektif untuk Covid-19 dalam menurunkan viral load dan morbiditas pasien Covid-19. Selain itu pemberian lopinavir dan ritonavir (obat HIV) secara bersamaan tidak memberikan perbedaan yang bermakna dengan obat dari kelompok kontrolnya, sehingga obat ini juga dianggap tidak memberikan hasil yang positif.

Favipiravir dan remdesivir berdasarkan hasil penelitian menunjukan potensi dalam menurunkan viral load Covid-19. Efek samping yang ditunjukkan dalam penggunaan obat ini rata- rata adalah masalah di sistem saluran pencernaan seperti diare, mual dan muntah. Untuk pemberian remdesivir tunggal, dosis yang optimum adalah 5 hari secara IV dengan Dosis hari pertama adalah 200 mg dan selanjutnya 100 mg sampai hari kelima. Saat ini pemberian remdesivir sebagai obat terapi covid masih dalam tahap terbatas dan belum mendapatkan ijin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)

Obat hidroksiklorokuin dan klorokuin diketahui dapat menurunkan viral load dengan empat mekanisme. Klorokuin akan melindungi hemoglobin agar tidak rusak, sehingga Fe tidak terlepas dan menyebabkan kerusakan hemoglobin. Kerusakan hemoglobin dapat menyebabkan terlepasnya Fe sehingga menyebabkan oksidasi di paru paru. Kondisi ini disebut chemical induced pneumonia. Obat ini juga memiliki sifat sebagai immunomodulator dan antiinflamasi. Klorokuin juga diketahui bersifat endocytosis antiviral sehingga dapat merusak sel virus. Mekanisme terakhir menyebutkan bahwa hidroksiklorokuin adalah zinc ionophore yang dapat menghentikan replikasi virus. Efek samping yang harus diawasi dalam pemberian obat ini adalah aritmia sehingga pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan EKG. Kombinasi azitromisin dan klorokuin diketahui meningkatkan efektifitas terapi.

Penelitian tentang obat hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk terapi Covid-19 sedang banyak dilakukan di dunia dengan kategori emergency use. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri memberikan izin obat ini sebagai experimental use, pasien tidak boleh membeli tanpa resep dokter dan pemberian obat ini harus dengan pengawasan yang ketat.

Pasien Covid-19 kondisinya dapat mengalami perburukan ketika mencapai stage 3 dimana ditandai dengan pneumonia berat dan saturasi oksigen yang menurun. Pemberian obat suportif seperti anti inflamasi, antibiotik, colchicine, kortikosteroid, anakinra, ascorbic acid, ACE Inhibitor dan obat lainnya mungkin saja diberikan dalam masa perawatan. Pemberian obat yang sudah biasa dikonsumsi pasien, tidak boleh langsung dihentikan jika belum ada telaah yang detail. Pemberian antiviral alami seperti zinc dan selenium sangat baik digunakan pada pasien dengan stage 1 dan 2, selain itu pemberian vitamin C dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh pasien.  Nutrisi pasien saat Covid-19 juga harus diperhatikan, terutama pasien- pasien di ICU karena akan berpengaruh pada sistem imun pasien.

Penulis : Ratu Ralna
Editor : Yulia Trisna

Leave a Reply